
Engkau mengharapkanku menjadi anak ibu yang sukses. Kesuksesan yang hinggap di alam bawah sadarku membuka kembali ingatanku yang masih kuat saat engkau mengharapkanku bahagia dengan kesuksesanku, dengan sepatah kalimat, “nduk ibumu memang tak sukses, kehidupan ibu ya begini saja, tapi engkaulah yang harus meneruskan cita-cita ibu menjadi seorang yang berarti bagi kami.” Entah waktu itu mimik wajah bahagia, takut, atau sedih yang harus ku perlihatkan pada beliau. Wajah ceriakulah yang tiba-tiba muncul menjadi jawaban untuk mimik wajah yang terlihat oleh beliau karena aku terpukau oleh rasa sayangku kepada ibu menyaksikan wajahnya yang penuh harapan kepadaku.
Aku sering melihat pengorbanan ibu untukku. Saat aku di rumah tak pernah ada celah waktu yang terbuang untuk menunjukkan rasa sayangnya padaku. Tuhan sungguh aku menyayanginya. Rasa sayangku itu kadang hanya seperti kebohongan belaka, diriku sering mebuatnya terluka akan sifat- sifatku yang kadang memang tak seharusnya kulakukan. Tapi sungguh ibu aku sangat menyayangimu, walaupun rasa sayangku ini jauh sekali dari kasih sayangmu untukku. Itulah yang membuatku ingin selalu berjuang mewujudkan mimpi kita ibu, seperti yang kukatakan padamu tepat empat tahun yang lalu.
Namun sekarang dikala perjuangan mimpiku sudah akan segera dimulai, rasa pasrah dan putus asalah yang selalu hinggap dibenakku. Kenapa tuhan, kenapa ibu, kenapa? Hanya hatiku sendiri yang mampu menjawabnya. Di saat seperti inilah aku serasa rapuh dan sangat butuh pelukanmu ibu. Namun ibu, aku serasa mampu melakukan apapun dan melepas kebingungan ketika aku teringat nasihatmu kepadaku untuk tetap mengejar mimpiku dan itulah yang menjadi kekuatan terbesarku.
Ya memang awalnya aku sangat ingin masuk fakultas kedokteran, tapi aku lemah untuk mewujudkan tekadku ini ibu. Aku lemah untuk berusaha bukan hanya karena keinginanku tapi juga beberapa pertimbangan termasuk tentang kemampuanku. Saat itu, saat pertama aku mengatakanya padamu, saat engkau di sampingku, tanpa ragu hatiku berbisik mengingatkan dan mendorongku untuk selau berusaha memasukinya, tanpa takut apapun dan dengan perjuangan apapun aku akan tetap mencoba memasukinya, jawab benakku. Aku mengatakan bisikan hatiku dan tekadku untuk memasukinya, ya fakultas itu. Tapi tahukah yang aku rasakan sekarang ibu? Aku lemah, aku rapuh, aku ragu sungguh untuk memasukinya. Aku menyembunyikanya darimu, aku tak mampu mengatakanya padamu. Aku dipenuhi ketakutan bila harus mengungkapkanya padamu. Aku dipenuhi kebingungan ibu tentang apa yang harus aku lakukan beberapa minggu lagi.
Aku yang saat itu sedang duduk termenung, menulis sebuah rangkaian kata tanpa makna yang mengingatkanku akan sebuah ucapan,”Ini mimpi kita nduk, mimpimu, mimpi ibu, dan mimpi keluarga kita. Berjuanglah untuk menjadi seseorang yang dapat bermanfaat untuk masyarakat. Terutama masyarakat kurang mampu di sekitar kita. Karena saat kamu bisa bermanfaat bagi orang lain, itulah saat kamu dikatakan sukses menjadi seorang insan Tuhan.” Menetes air mataku mengingat harapan ibuku sejak itu, mengingat aku belum berani mencoba menggapainya.
Haruskah aku terdiam hanya untuk menunggu berakhirnya waktu, tapi aku tak ingin diam. Haruskah aku termenung merenungi hal yang tak tentu sedang aku sendiri tak ingin termenung. Haruskah aku hanya bermimpi tanpa ada usaha dan tekad, tapi aku tak ingin hanya untuk bermimpi tanpa ada usaha. Haruskah aku takut untuk memasukinya sedangkan aku tak ingin takut. Tapi kenyataanya aku takut kedokteran itu bukan jodohku bu. Aku berharap ketakutanku dapat sirna yang kelak membuahkan keyakinan bahwa kita, aku dan ibu dapat mewujudkan mimpi kita berdua. Mimpi untuk ibu, untukku, dan untuk orang tersayangku. Karena bila Tuhan telah menggariskan fakultas itu untukku, insyaallah aku akan berada di fakultas itu ibu. Tentu saja dengan usaha dan do`a aku dan ibu serta keridhoan dari Tuhan semesta. Dan bila Tuhan telah mendakwa itu bukan garis untukku tentu saja Tuhan telah menggariskan sesuatu lain yang terbaik untukku.
0 komentar:
Posting Komentar