Minggu, 04 Januari 2015

Senyuman Malam Itu



Malam nanti kurasa akan begitu indah. Ya, malam peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang akan dilaksanakan di masjid desa kami, Masjid Darussalam. Aku telah menunggu pelaksanaanya sejak pagi, serasa tidak sabar hati ini ingin segera memperingati maulid nabi malam nanti ditambah lagi akan ada penampilan hadrah dari putra-putra kecil desa kami, membuat hatiku semakin bergetar menantikannya. Saking hatiku yang terselimuti rasa tak sabar, kegiatan sehari-hariku berjalan tanpa kusadari. Waktulah yang telah mengantarkanku kepada senja, senja di mana adzan magrib akan segera berkumandang.
10 menit kemudian adzanpun berkumandang, aku beserta keluarga bersiap-siap melaksanakan sholat magrib di masjid yang kemudian akan dilanjutkan dengan pengajian. Sholat magrib telah menanti kami, akhirnya aku pun dengan menggandeng adikku berjalan menuju masjid. Setelah sholatpun selesai aku dan adikku segera pulang untuk mengambil nasi santan, untuk acara maulid nabi itu. Lalu kami kembali menuju masjid dan duduk bersama semua warga desa yang kumpul di serambi masjid untuk melaksanakan agenda kami yaitu peringatan maulid nabi. Segera setelah warga terasa telah lengkap bapak mc membuka acara malam itu dengan bacaan surat al fatihah, disambung dengan berjanjen, istilah untuk kegiatan keagamaan. Lalu untuk renungan qalbu, pengajianpun disampaikan oleh Bapak H. Laziman Mahmud. Pengajian dengan lelucon dan secuplik nyanyian menambah syahdunya kehangatan malam maulid nabi malam itu.
Memang satu hal yang tak kusadari, sejak acara dimulai mataku tertuju pada seseorang. Seseorang yang menurutku sangat santun dengan kekaleman sifatnya. Saat itu saat di mana hadrahnya mulai berbunyi dengan lantunan lagu sholawat dari anak-anak, mataku tertuju kepada seorang pemuda yang memakai peci putih dengan bajunya yang juga berwarna putih. Dia terlihat mahir memainkan rebananya itu, dan itu yang membuatku merasa senang tersendiri. Tak terlihat keraguan darinya membunyikan lagu sholawat bebarengan dengan suara anak-anak. Ternyata pemuda itu adalah seseorang yang kutatap sejak acara di mulai. Sungguh aku tak menyadarinya karena serasa hatiku telah kalut akan kalem wajahnya.
Benar bahwa kebingungan yang kurasakan. Ya Allah hati ini serasa bergetar melihat kekaleman di wajahnya. Wajahnya yang alim membuatku tak henti untuk memandangnya. Walaupun sebenarnya aku tahu bahwa itu salah, tapi apalah daya, mata ini memaksaku untuk terus melihatnya, mata yang tak bisa berpaling semudah membalikkan tanganku. Apalagi mata mas itu yang menatapku semakin membuat hatiku bergetar, benar-benar getaran yang kurasakan. Sungguh rasa seperti apakah yang ini, rasa di mana aku nyaman melihat wajahnya dan kagum akan dirinya. Kebingungan yang hinggap di diriku saat itu, hanya senyum dan canda adik-adikku yang dapat memecahkan suasana hening hatiku kala itu.
Waktupun yang terus bergulir mengantarkan kami, warga desa pada penghujung acara. Saat itupun tiba, saat di mana sholawat selesai dikumandangkan. Sungguh aku rasakan kecewa, kecewa yang merasuk ke dalam jiwaku kurasakan membuatku seperti ingin memutar waktu. Ya waktu saat dia masih memainkan rebananya dengan penuh tawa. Tapi itu semua hanyalah hal di atas fakta, memutar waktu bukanlah hal yang mampu kulakukan. Aku pun bergegas pulang dengan senyum lepas mengingat saat-saat hatiku bergetar meskipun hanya sebentar.
Saat memasuki rumah senyuman dan tawa itu tak lepas dari bibirku. Walaupun itu merupakan hal yang terjadi tanpa sadar tapi ingatanku tak mungkin akan menghapus memori indah itu. Dan satu hal  berarti tentang senyumanku saat  keyakinanku yang bukan tanpa alasan ini akan membuat dia tidak akan berjalan terlalu jauh dariku dan menjaganya tetap di sini (MD).
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar